Dreams are renewable. No matter what our age or condition, there are still untapped possibilities within us and new beauty waiting to be born.

-Dale Turner-

Kamis, 01 September 2011

Bonfire

Seperti api unggun yang menghangatkanku dikala kedinginan,  menerangiku dikala gelap. Dengan kesederhanaannya. Yaa, hanya batangan kayu dan kobaran api kecil. Sepintas, itu memang bukan apa-apa. Hanya hal yang sangat biasa, namun dengan apa yang api unggun itu miliki. Ia mampu memberi dampak yang luar biasa. Api unggun itu…Kau, kaulah orang yang menghangatkan jiwaku, kaulah yang menerangi jalanku. Mengisyaratkanku tentang makna hidup, makna indahnya dimiliki dan memiliki. Suatu saat nanti, aku ingin sepertimu. Seperti api unggun itu. my bonfire..


@@@

“Disaat dewasa nanti, aku ingin menjadi seseorang yang dapat membanggakan orang-tuaku.” Kobaran api unggun yang menghiasi pemandangan depan Vita Marissa semakin meredup, apinya semakin mengecil sedangkat waktu sudah hampir larut malam. Ia menoleh kearah Alvent, dan tersenyum manis kepadanya. Sesekali ia menggosokkan tangannya agar merasa sedikit hangat.

“Kau bisa, Vit.” Alvent pun ikut tersenyum kearah Vita. Sedetik mata mereka bertemu, sebelum Vita memalingkan wajahnya. Suasana berubah menjadi hening. Cukup lama, mereka tenggelam dalam pemikiran masing-masing.

“Kau tahu? Pertama kali aku melihatmu, aku sudah merasakan getaran ini.” ucap Alvent memecah keheningan. Ia menerawang kesudut jauh. Keatas, kearah bintang yang meneranginya selain cahaya api unggun. Kearah langit yang menyelubunginya. “Dan, kau tahu? Aku sudah mempunyai rasa ini sejak lama, semenjak aku mengenalmu dulu.” lanjut Alvent.

Alvent diam sejenak. Ia memejamkan matanya dan membukanya lagi.

Vita masih menundukkan kepalanya. Ia tidak berani menatap Alvent, ia tidak berani menatap cahaya api unggun didepannya. Ia tidak berani menatap bintang, bulan maupun langit seperti apa yang dilakukan Alvent. Ia hanya tersenyum dan terus menyembunyikan senyumnya tersebut.

Alvent mendesah. “Aku tidak tahu isi hatimu, aku tidak tahu perasaanmu. Walaupun aku terus mempelajari bagaimana cara membaca pikiran orang, tetap saja. Aku tidak bisa membaca pikiranmu.” Jelas Alvent. “Aku mencintaimu,” sela Alvent.

Vita memaksakan diri menatap Alvent yang terlihat sedang memainkan batu ditangannya. 

“Aku tidak berharap kau membalas cintaku, aku tidak berharap kau menjadi kekasihku. Tapi, aku berharap kau menerima pengakuanku. Menerima kenyataan kalau aku mencintaimu. Walaupun kau mungkin saja memiliki perasaan yang jauh berbeda ketika bersamaku.”

Vita tertegun. Alvent sedang menatapnya dengan penuh harap. Tatapan Alvent seperti mengisyaratkannya untuk berkata ‘ya’. Vita merasakan ia menahan napasnya dan ia mengangguk.

“Aku mengerti. Alvent,aku…”

“Mungkin aku terlalu bodoh membiarkan perasaan ini terus berkembang, dan justru membuatku gelisah. Membuatku resah untuk menyimpannya terus terusan. Dan itu tentunya akan membuatku berbalik menderita ketimbang aku berterus terang denganmu.”

Vita kembali menunduk. “Tidak, kau tidak bodoh. Kau tidak salah. Kau..kau bukan seperti orang yang kau katakan karena…karena aku juga mencintaimu.” Vita merasakan hatinya semakin tenang mendengar apa yang ia ucapkan, mendengar apa yang sebelumnya selalu ia sembunyikan, mendengar apa yang terselubung dalam benaknya selama ini. Dan itu sekarang. Hari ini..      

END.


0 komentar:

Posting Komentar