Dreams are renewable. No matter what our age or condition, there are still untapped possibilities within us and new beauty waiting to be born.

-Dale Turner-

Minggu, 28 Agustus 2011

Ini yang Terakhir, Maaf


          Siang ini, Yana dan Vita sejenak menghabiskan libur sekolah terakhirnya di salah satu pusat perbelanjaan di London. Yana dengan style feminim agak tomboy-nya sesekali membernarkan topi yang baru saja ia beli. Sedangkan Vita sibuk dengan barang belanjaannya yang sedubrek. Setelah lama berdebat, akhirnya Yana dan Vita singgah disebuah tempat makan khas Thailand.
            “Vit?” Yana memulai perbincangan setelah lama bungkam karena sibuk akan pikiran masing-masing.
            “Ehm?” jawab Vita.
            “Yakin kau akan ke Jepang?” Yana bertanya menatap Vita polos. Ia mengerenyitkan kedua alisnya. Ini bukan pertanyaan pertama!
            Vita memandang Yana malas. Dengan kesekian kalinya Ia berkata, “Iya, aku harus ke Jepang. Aku harus ikut Ayah dan Ibu,” Kalau saja Yana tidak memasang wajah sepolos itu. Mungkin Vita sudah menggorengnya tadi dan dijadikan santap siang Golden hari ini, peliharaannya.
            “Kenapa?”
            Vita langsung garuk-garuk kepala sendiri.
Etdah..bocah sableng! Belum Vita menjawab. Yana sudah menjawab pertanyaannya sendiri.
            “Oke, baiklah. Aku tau kau kesal dengan sifatku yang terbilang bertele-tele. Tapi aku butuh satu alasan lagi kenapa kau tumben mau pergi dari London,” kali ini Yana terlihat lebih dewasa. Bukan! Bukan karena ucapannya. Tapi karena penekanan disetiap kalimatnya. Sungguh..
tumben.
            “Apa maksudmu? Kau kira aku menyembunyikan sesuatu? Hah?” Vita mendengus. Sejenak ia mengambil cangkir kertas dan menyeruput pelan the herbal yang baru saja datang.
            Dengan cepat Yana membantah. “Bukan! Bukan itu maksudku. Aku hanya ingin kau benar-benar pergi tanpa… dendam..” nada bicara itu semakin rendah dan pelan. Yana menghembuskan napas perlahan. “Alvent,” Yana tampak ragu. Ia melirik Vita perlahan, namun pasti.
           
Uhuk.. Vita tersedak. Dengan cepat ia menjauhkan tehnya. Ia mengambil sehelai tisu dan mengelap bibirnya. Glek.. menelan ludah. “Alvent?” dengan malas Vita merespon.
            Yana mengangguk mantap. “Iya, Alvent.”
            “Terus?”
            “Kau masih marah dengannya?” Yana ragu.
            “Ehmm.. entahlah,” Vita mengangkat bahunya. Ia tampak menyebalkan sekarang.
“Kenapa?”
Vita mengerutkan alisnya. “Kenapa? Yaa… kau pikirkan saja sendiri!”
            Yana mendengus. “Vit, ini yang terakhir. Alvent! Maafkan dia. Aku mohon,” Ia menggigit bibir bawahnya.
            “Kau yakin kan ke Jepang mau ikut Orang tuamu? Bukan menghindar dari Alvent, kan? Iya kan, Vit? Bukan karena kakakku, kan?” Yana menambahkan. Ia masih berharap Vita berkata tidak dan itu benar. Tidak dalam artian dia tidak berbohong.
            Vita menghela napas untuk kesekian kalinya. “Besok aku berangkat,” Ia mengalihkan pembicaran.
            Yana tau maksud Vita berkata seperti itu. Dia merasa benar-benar gagal kali ini. “Ini yang terakhir, sebelum besok. Aku mohon, maafkan dia,” lirih.
            Vita menunduk. Sejenak Ia mendesah kembali. “Untuk apa aku memaafkannya? Penting?”
            “Kau tidak dengar tadi, hah?!” Yana mendengus. “Aku hanya ingin kau pergi tanpa dendam! Hanya itu! Tidak lebih!”
            Vita kembali menunduk dan memotong-motong steaknya.
            “Bagaimana? Kau bersedia kan? Ini untukmu, untuk Alvent, dan juga aku,” Yana berharap-harap cemas.
            Setelah lama bungkam. Akhirnya Vita buka suara. “Aku akan beri kepastiannyaa besok.  Iya.. besok!”
Degg! Apa yang sudah kukatakan?! Vita memejamkan paksa matanya dan menggigit bibir bawahnya.
            Yana menghela napas lega. “Baiklah. Pegang janjimu. Besok kau sudah harus menjelaskan semuanya, ingat, Vit. Ini demi kebaikanmu, Alvent dan kita. Aku harap kau tidak berbohong.”
Tuhkan, mati gue… Vita membatin.
Malam itu juga, Vita membuka jendela kamarnya di lantai atas dan menarik napas dalam-dalam. Sejenak Ia menoleh kedalam, kearah jam wekker kecilnya di meja. Ia mendesah, “jam 10 , kira-kira 24 jam lagi,” ia berbicara sendiri dan mengalihkan pandangannya ke luar jendela kamarnya yang menghadap taman disamping rumahnya.
           ...
Ini yang terakhir, sebelum besok. Aku mohon, maafkan dia… seperti sirene ambulans. Perkataan Yana tadi siang selalu terngiang-ngiang di benaknya. Vita merasa... resah. Ia mengingat kembali Yana kala sedang mengatakan itu semua. Lirih, pelan dan pucat!
          
Ada apa ini? Vita memejamkan matanya kuat-kuat. Ia menggigit bibir bawahnya. “Yana.. Alvent.. ada apa ini sebenarnya?!” Vita melirih. Sungguh. Vita sudah merasa ada yang beda dari ucapan Yana. Tidak biasanya Yana se-serius ini. tidak biasanya Yana memaksanya berkata sesuatu tentang Alvent. Ya! Alvent! Lelaki yang pernah menyakitinya, dulu. Kakak dari seorang Yana, sahabat terdekatnya. Dunia memang ekstrim!
           Vita merogoh sakunya. Ia mendapati ponselnya menerima satu panggilan tak terjawab.
           “Yana?”
           Vita dengan segera menghubunginya. Dengan sabar ia menunggu Yana mengangkat teleponnya. “Yanaa… angkat dong! Angkatt!!” Vita jadi panik.
           Beberapa detik kemudian. “Yan..” Vita menjawab namun Yana mendesaknya. “Vita, kau kah itu? Vit! Cepat kemari Vit! Alvent!! Dia kritis. Aku mohon, dia membutuhkanmu!” Yana cemas.
           “Alvent, kritis? Apa maksudmu?!” Vita jadi ikutan panik.
           “Aku tidak punya waktu untuk menjelaskannya sekarang! Cepat! Kau kemari. Aku ada di
Hospital City kamar 235. Cepat, Vit!” Yana semakin mendesak dan membuat Vita semakin panik.
            “Mana, mana, Alvent?!” Vita panik dan menggoncang-goncangkan pundak Yana setelah baru datang. Ia merasakan pundak Yana sangat lemah. Tidak seperti biasanya.
            “Dia di dalam. Masih diperiksa dokter,” suara itu terlontar dengan berat. Yana menangis.
            “Al…vent? Di..dia kenapa?” Vita melepaskan tangannya dari pundak Yana. Ini pertama kali ia melihat sabahatnya menangis. Sudah 5 tahun, dan ini yang pertama. Pertama kali. Ia melihat sahabatnya yang menegarkannya kini berbalik mencoba ingin ditegarkan. Memang,
roda itu berputar.
Yana tak menjawab. Cukup lama.
            Vita mendesah. “Yana..?”
Yana tetap menangis dan tidak mau menjawab pertanyaannya. Berat. Vita tau hati Yana. Tapi dia tidak tau apa yang terjadi. Dengan Alvent, mantannya. Vita tidak mau memaksa Yana menceritakan semuanya. Semua yang dihadapinya. Yang dihadapi Alvent. Sekarang, detik ini.
Hujan masih turun dengan derasnya. Sama seperti airmata yang terus jatuh dari mata Yana. Entah berapa banyak sudah ia buang untuk hari ini.

Tiba-tiba…
Seorang dokter paruh baya keluar dari ruangan yang sekian lama pintunya tertutup rapat. Yana langsung terlonjak.
            “Bagaimana kakak saya, dok?!”
Dokter itu tidak langsung menjawab. Ia mendesah dan menyeka keringatnya terlebih dahulu.   Dokter itu tersenyum, suram. “Kakak anda masih mencoba melawan penyakitnya. Dia kuat sekali,”
Vita menghela napas panjang.
            “Lalu, apa saya boleh menjenguknya sekarang?” Yana bertanya lagi.
            “Tentu saja, mungkin dia sedang istirahat,”
            “Baiklah, terima-kasih dok.” Vita segera berterima kasih sedangkan Yana sudah masuk ke kamar tersebut dengan cepat.
Vita tidak langsung masuk. Ia hanya mengamatinya perlahan dari luar. Yana tidak menutup pintu kamar itu. Sejenak napas Vita terasa sesak. Kamar ini nyaris baunya obat-obatan semua!  Vita membatin. Iya, memang. Ruangan Alvent memiliki bau obat-obatan yang sangat pekat. Ia tidak bisa membayangkan sudah berapa banyak obat yang Alvent habiskan untuk mempertahankan hidupnya. Fokus matanya tertuju pada sesosok laki-laki putih di atas ranjang yang dipenuhi infus disana-sini. Pernapasannya pun masih menggunakan alat bantu bernapas. Pakaian yang dipakainya serba putih. Wajahnya memucat. Sungguh! Ini seperti bukan Alvent!
            “Kaak, kakak yang kuat. Kakak harus bisa melawan penyakit ini. harus kak, harus!!” Yana duduk menghadap Alvent. Menangis dengan satu harapan.
-cklek- Vita menutup pintu kamar. Langkah kakinya terdengar mendekat. Yana terkesiap dan menoleh ke belakangnya. Vita. Ia menggigit bibir bawahnya.
            “Kak, bangun. Vita ada disini. Untukmu, kak. Untukmu!! Aku berhasil membawanya bertemu denganmu! Ayo bangun kaaak! Cepat berterima-kasih kepadaku!!” Yana tersenyum disela tangisnya. “Apa kau tidak mau berkata terima-kasih kepadaku? Apa ini caramu membalas jasaku yang sudah lelah membujuk Vita agar mau bertemu denganmu?” lanjut Yana.
            “Yan….,” Vita melirih. Air matanya mulai terbendung memenuhi pelupuknya. Vita kembali merasakan sesak menghujam pernapasannya.
            “Lihat, kak. Dia memanggilku. Kau bisa mendengarnya kan, kak? Bisa kan?”
 Vita beralih kerarah meja disebelah Yana duduk dan menangis. Banyak obat dan kapsul diatas sana.
Dan ini… Degg! Vita tercekat. Obat ini! A..a… Alvent?
            “Kau.. kau tidak pernah menceritakan semua yang terjadi kepada Alvent! Kenapa, Yan?!” Mendadak Vita mengeluarkan suara yang membentak. Terkesiap, Yana menoleh kearahnya. Vita menangis. “Kenapa kau tidak memberitahu penyakit ini?!”
            Yana menoleh kaget. Dia mati kutu. “A..ak..,”
            “Kenapa kau tidak pernah bercerita tentang ini semua? Kenapa, Yan? Kenapa kalian menyembunyikannya?!” Vita memotong kalimat Yana. Ia emosi. Ia terus menangis.
            “Apa maksudmu menyembunyikan sesuatu?!” Yana bingung.
            “Aku tau penyakit ini! Aku tau apa yang diderita Alvent! Ini penyakit yang sama.. dengan adikku..,” lirih. Yana tak merespon.
            “Adikku meninggal karena leukemia ini!” Vita menambahkan. “Kenapa kau tak bercerita kepadaku?!!”
            Air mata Yana berlalu. “Bagaimana aku menceritakan ini semua kepadamu? Sedangkan kau sendiri tidak mau mendengar Alvent. Kau sendiri tidak mau bertemu dengannya. Kau sendiri tidak mau peduli dengannya! Apa aku perlu memberitahumu tentang penyakit ini? perlu?! Apa karena Alvent sakit kau mau menjenguknya? Kau egois!” Yana membantah. “Kau tau alasan mengapa Alvent memutuskanmu dulu? Mendadak. Tiba-tiba. Itu pertama kali dia tau kalau dia mengidap penyakit leukemia! Dia tidak mau kau merasa memiliki kekasih yang cacat! Yang penyakitan! Dia tau kau tak setegar itu menerima keadaan orang! Kau terlalu egois dimatanya!” Yana mengatakan apa yang selama ini ingin ia katakan kepada Vita.
            “Sebenarnya Ia ingin sekali memberitahu ini kepadamu! Tapi apa yang dia dapat? Kau selalu mengatahinya egois! Laki-laki kurangajar! Laki-laki tidak berperasaan! Kau tidak mau sekalipun mendengarkannya! Kau hanya menghujamnya dengan kata-kata yang menyakitkan!” Yana terus berbicara. Sedangkan Vita yang selalu dibelakanginya menangis sesenggukan mendengar pengakuan Yana tentang Alvent. Wajahnya penuh dengan airmata.
            “Dan sekarang kau malah marah denganku! Seharusnya kau ngaca, Vit! Lihat wajahmu! Aku benci ini semua! Aku muak!” Yana berdiri dan segera keluar dari ruangan Yana. Membiarkan Vita berdua dengan Alvent.
            Jujur. Vita sangat kaget mendengar penjelasan Yana.
..Dia tidak mau kau merasa memiliki kekasih yang cacat! Yang penyakitan!..
Tubuhnya terhuyung mundur dan membentur tembok. Ia meluruh disana. Memeluk kedua lututnya dan menenggelamkan muka diantaranya. “Tidak! Aku tidak seperti itu!!!” Vita berteriak. Ketika tangis itu reda, Vita berjalan menuju kursi disamping ranjang Alvent. Ia duduk disana dan meraih tangan Alvent.
            “Alvent… Ini… Vita…,” Ia terpejam dan menitikkan air mata. Cukup lama.
            “Vita…,”
            Vita tersentak.
            “Alvent?!” panggilnya seketika. Ia melihat Alvent. Matanya terbuka! Ia tersenyum kearahnya!
            “Alvent? Astaga, akhirnya kau bangun!” Vita tersenyum.
            “Vita.. Maaf,” ucap Alvent dengan suara parau. Hening sesaat.
            “Sudahlah, sebenarnya aku yang harus minta maaf. Aku terlalu egois,” Vita menggenggam tangan Alvent hangat.
            “Tidak, bukan salahmu. Ini yang terakhir, Maafkan aku.” Suara Alvent kian lama kian melirih. Dan serak. Sungguh! Vita tidak mampu melihat Alvent seperti ini.
            “Apa maksudmu yang terakhir?” Vita menjadi panik.
            Alvent menggenggam erat tangan Vita dan semakin lama semakin erat. Alvent tersenyum dan memejamkan matanya. “Jika aku pergi, aku mohon. Maafkan aku. tulus, maafkan apa yang pernah kuperbuat yang pernah salah dimatamu. Aku sama sekali tidak ingin kau sakit. Tapi aku terlalu cacat dimatamu sehingga seperti ini. Vita, berikan aku kesempatan ini, aku tidak akan memintanya lagi. Tolong, maafkan aku.” Air mata itu menetes. Vita terpejam. Tangannya masih menggenggam tangan Alvent dengan erat. Tidak ingin melepaskannya.
            Vita sesenggukan. “Aku sudah memaafkanmu,”
            “Benarkah?” Alvent memastikan.
            Vita mengangguk.
            “Terima kasih, Vit. Dengan ini mungkin jalanku ke surga nanti akan lebih tenang. Terima-kasih banyak,”
            Ucapan Alvent membuat Vita panik. “Tolong jangan berkata seperti itu, Vent!”
            Alvent membuka matanya melihat perempuan cantik didepannya dan tersenyum. “Aku rasa ini yang terakhir. Melihatmu disini, menatapmu dengan jelas dan menggenggammu lebih lama. Ini akan menjadi hari terakhir dan hari terindah sepanjang hidupku, aku mencintaimu..”
            Tak lama kemudian, Alvent terpejam dalam senyum itu. Dalam kata-kata indah untuk perempuan yang masih membekas dihatinya. Ingin sekali Vita memeluk laki-laki yang terbaring tak bernyawa di depannya ini. Belahan masa lalu yang kini kembali. Kembali dengan waktu yang singkat. Airmata membasahi wajahnya.
Alvent telah hilang, tapi hatinya takkan hilang. Masih disini, dihatiku..   

Selengkapnya...